Seni dan budaya merupakan inti dari identitas suatu bangsa, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya ini sering kali terkait erat dengan keyakinan, perilaku, dan adat istiadat yang mengakar dalam jati diri bangsa tersebut. Beberapa tradisi khusus bahkan memiliki simbolisme dan makna mendalam. Meskipun berupaya bertahan dengan perubahan zaman, tantangannya semakin besar dalam era modern yang berubah dengan cepat dan semakin canggih. Seiring waktu, beberapa tradisi punah dan terlupakan, menandai ancaman terhadap keberlanjutan budaya nenek moyang ini.
Mirip Wayang, Tradisi Unik dari Cina ini Hampir Punah
Lupiying, atau yang dikenal sebagai Pertunjukan Bayangan Cina, mirip dengan tradisi fenomenal Wayang Kulit di Indonesia. Di Tiongkok, Lupiying telah menjadi hiburan yang penting selama berabad-abad, sering dipentaskan dalam acara-acara khusus seperti festival, musim panen, pernikahan, dan berbagai perayaan lainnya. Biasanya, satu kelompok terdiri dari 6 hingga 7 orang bekerja sama dalam pertunjukan Lupiying, masing-masing dengan peran mereka sendiri mulai dari menyanyi, memainkan alat musik, hingga memanipulasi bayangan wayang Lupiying yang khas.
Sayangnya, gelak tawa dan kegembiraan yang dulu kerap terdengar dalam pertunjukan Lupiying kini semakin jarang terjadi, mungkin menandakan akhir dari sejarah panjangnya. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya minat generasi muda Tiongkok untuk mempelajari seni yang kaya akan sejarah dan tradisi ini. Saat ini, mencari seorang master Lupiying, yang setara dengan Dalang dalam Wayang Kulit Indonesia, merupakan tugas yang sulit di Tiongkok. Salah satu dari sedikit praktisi yang tersisa adalah Hu Changyou, seorang perajin tua dari Desa Huzhang di Distrik Pinggu, Beijing. Meskipun Hu terkenal sebagai seniman Lupiying, ia kesulitan untuk mewariskan pengetahuannya kepada anak-anaknya sendiri yang tidak tertarik dengan seni yang terancam punah ini.
Untungnya, pemerintah Tiongkok telah mulai mengumpulkan dan melestarikan berbagai bentuk seni rakyat, termasuk Lupiying, sebagai warisan budaya. Upaya ini bertujuan untuk menjaga warisan budaya Tiongkok di tengah gaya hidup modern, industrialisasi, urbanisasi, dan pengaruh budaya asing yang lebih disukai oleh generasi muda saat ini di Tiongkok.
Seni Tato Tradisional di Filiphina
Wanita yang terlihat dalam foto di atas adalah Apo Whang Od, seorang wanita berusia 93 tahun yang merupakan satu-satunya seniman tattoo tradisional Filipina yang masih ada. Dulu, Apo Whang Od telah mengukir banyak tattoo untuk para pejuang Kalingga yang terkenal karena keberanian mereka. Ia menggunakan dua bilah bambu kecil sebagai alat untuk membuat tattoo, dan tinta yang digunakan berasal dari buah calamansi, sejenis buah tropis yang sering digunakan oleh masyarakat setempat. Bagi Suku Kalingga, seni tattoo, atau yang dikenal dengan sebutan Batuk, lebih dari sekadar hiasan tubuh. Tattoo ini adalah simbol kebanggaan, kehormatan, dan martabat bagi para prajurit Kalingga, sekaligus sebagai pembeda antara mereka dengan anggota suku lainnya. Tattoo Kalingga hanya diberikan kepada pria yang pantas menerimanya, yaitu mereka yang mampu memenggal kepala musuh dan membawanya pulang ke desa.
Motif tattoo tradisional Kalingga sebagian besar terinspirasi oleh hewan-hewan di sekitar tempat tinggal mereka. Dulu, mereka sering menggambar kelabang pada lengan sebagai jimat perlindungan, tattoo ular piton pada bahu sebagai simbol kekuatan, dan tattoo elang pada dada atau punggung sebagai lambang keberanian. Tattoo elang hanya boleh dimiliki oleh prajurit yang dianggap paling berani dan kuat. Sayangnya, seni tattoo tradisional Kalingga yang memiliki sejarah begitu kaya ini kini hanya menjadi atraksi wisata. Siapa pun yang memiliki uang dapat mendapatkan tattoo Batuk di tubuh mereka dengan membayar Apo Whang Od, tanpa perlu lagi memenggal kepala musuh sebagai persembahan.